
https://www.antaranews.com
Faktabiz – Kekerasan geng di Haiti terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Kantor Hak Asasi Manusia PBB, lebih dari 1.000 korban jiwa tambahan tercatat pada tahun 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Fenomena ini mencerminkan eskalasi krisis yang tidak hanya menghancurkan kehidupan, tetapi juga melumpuhkan stabilitas negara tersebut.
Saat ini, lebih dari 80 persen ibu kota Haiti, Port-au-Prince, dan wilayah sekitarnya berada di bawah kendali geng-geng bersenjata. Dalam pernyataan resmi PBB yang dirilis pada Selasa (6/1), diungkapkan bahwa sedikitnya 5.601 orang tewas, 2.212 lainnya mengalami luka-luka, dan 1.494 orang menjadi korban penculikan akibat kekerasan tersebut sepanjang tahun 2024. Jumlah ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2023.
Volker Turk, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa data tersebut tidak mampu sepenuhnya mencerminkan kengerian yang dirasakan masyarakat Haiti. Ia menggambarkan situasi ini sebagai bentuk kekerasan tanpa henti yang harus segera dihentikan.
Kekuasaan geng-geng ini tidak hanya terbatas pada Port-au-Prince, tetapi juga meluas ke wilayah sekitarnya. Pada Desember 2024, geng Wharf Jeremie menjadi sorotan internasional setelah melakukan salah satu serangan paling mematikan sepanjang tahun. Serangan tersebut mengakibatkan tewasnya setidaknya 207 orang di kawasan Cite Soleil, Port-au-Prince. Para korban, yang sebagian besar merupakan lansia, dituduh menggunakan praktik voodoo untuk mencelakai anak pemimpin geng tersebut.
PBB melaporkan bahwa para korban tidak hanya dibunuh, tetapi juga mengalami kekejaman seperti pembakaran, mutilasi, atau bahkan dibuang ke laut. Sejak tahun 2022, geng Wharf Jeremie terus bersaing dengan kelompok lain untuk menguasai jalan-jalan strategis menuju pelabuhan utama dan terminal kontainer di ibu kota.
Dalam upaya menangani masalah ini, PBB menilai bahwa dukungan internasional sangat dibutuhkan. Volker Turk menekankan pentingnya upaya tambahan dari pihak berwenang, yang harus didukung oleh komunitas internasional, untuk mengatasi akar permasalahan kekerasan geng. Misi Dukungan Keamanan Multinasional yang dipimpin oleh polisi Kenya telah disetujui PBB, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada tersedianya sumber daya yang memadai.
Menurut Turk, prioritas utama dalam menghadapi kekerasan ini adalah memulihkan supremasi hukum. Ia juga menggarisbawahi perlunya pengawasan lebih ketat terhadap Kepolisian Nasional Haiti untuk memastikan mereka bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan.
Selain itu, Turk menyerukan penegakan penuh terhadap sanksi dan embargo senjata PBB untuk menghentikan arus masuk senjata ke Haiti. Ia menyoroti bahwa senjata yang diselundupkan sering kali jatuh ke tangan geng kriminal, yang kemudian menyebabkan ribuan kematian, ratusan ribu orang mengungsi, serta rusaknya infrastruktur vital seperti sekolah dan rumah sakit.
Situasi keamanan yang memburuk ini juga mempersulit upaya pemulangan warga secara aman dan bermartabat. Meskipun demikian, deportasi terus dilakukan oleh beberapa negara. Turk mengimbau agar negara-negara menghentikan pemulangan paksa warga Haiti, mengingat kondisi yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali.
Selama bertahun-tahun, Haiti telah terjebak dalam krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang mendalam. Dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa, negara ini juga menghadapi ancaman kelaparan yang semakin nyata. Langkah konkret dan kolaborasi internasional menjadi kebutuhan mendesak untuk memulihkan stabilitas dan memberikan harapan baru bagi masyarakat Haiti.